Kewirausahaan
Bisa Dipelajari
Ada orang yang beranggapan bahwa kewirausahaan itu
bakat, bahkan karena keturunan. Hal itu merujuk pada adanya fakta pada etnis
tertentu yang umumnya “berbakat” wirausaha, di mana kemampuannya jauh melampaui
etinis lainnya. Sebenarnya kewirausahaan itu bisa dipelajari oleh siapapun,
kapanpun dan di manapun. Namun pada akhirnya akan tergantung pada
orang-per-orangnya juga.
Douglas Mc Gregor dalam bukunya The Human Side of
Entreprise, mengemukakan Teori X dan Y. Teori X menyebutkan bahwa pada dasarnya
manusia itu malas, maka harus dipaksa dan dikontrol ketat, supaya pekerjaannya
memenuhi target tertentu. Sedangkan Teori Y menyatakan, bahwa manusia
sebenarnya gemar bekerja, dan bila diberikan motivasi yang tepat dan
tanggung-jawab yang sesuai, pasti akan terdorong untuk berprestasi.
Untuk menjadi seorang wirausahawan yang handal dan
tangguh, kedua teori tersebut sangat mendukung dan bisa diterapkan. Terutama
menyangkut kemalasan, gemar bekerja, motivasi, kontrol, target, tanggung jawab
dan prestasi. Dalam diri seorang calon wirausahawan, faktor kemalasan tentu
saja ada, bahkan pada setiap orang. Dengan demikian langkah pertama untuk
menjadi wirausahawan ialah melenyapkan faktor kemalasan tersebut, lantas
diganti dengan karakter gemar bekerja.
Perubahan karakter dari pemalas menjadi pekerja
keras tentu tidak mudah, menuntut kedisiplinan yang tinggi. Untuk itu
faktor-faktor motivasi, kontrol, target, tanggung jawab dan prestasi harus
disertakan dalam berusaha. Upaya penerapannya dilakukan secara mandiri, tanpa
bantuan dan instruksi dari siapapun. Itulah salah satu keunggulan dari para
wirausawan, yakni berdisiplin untuk berprestasi dengan dorongan yang utama
berasal dari diri sendiri.
Sedangkan Michael Maccoby dalam bukunya The
Gamesman, menyebutkan bahwa salah satu keunggulan wirausahawan dibanding
kelompok lainnya, ialah gemar perubahan dan peningkatan.
Karakter unggul dari wirausahawan sukses bisa
diadopsi, yaitu melalui tahapan perubahan cara berpikir, perubahan sikap dan
perubahan kebiasaan. Hal itu memerlukan proses belajar dan latihan yang
terus-menerus. Untuk berhasil menjadi wirausahawan sukses diperlukan “jam
terbang belajar” yang tinggi, dengan menggunakan “model belajar” kisah sukses
tokoh-tokoh wirausahawan atau pengusaha terkemuka.
Saat ini kewirausahaan sudah dimasukan ke dalam
kurikulum di perguruan tinggi dan SMA/SMK. Sehingga kelak berwirausaha akan
menjadi pilihan utama, tidak seperti saat ini menjadi pegawai, bahkan PNS
menjadi keinginan utama lulusan perguruan tinggi. Persoalannya, materi yang
diajarkan sering terjebak pada teori dan teori, kurang dalam menerapkan praktek
kewirausahaan. Padahal kewirausahaan itu praktek, hanya akan berhasil jika
ditempuh melalui tindakan, aksi yang nyata. Sebagaimana ingin bisa berenang,
yang terpenting ialah bukan mengkaji teorinya secara mendalam, tetapi segera
“nyebur” ke kolam. Mau jadi wirausahawan ? Tidak ada pilihan lain, segera
“nyebur” ke “kolam”, “lautan”, kalau perlu ke “samudera” kewirausahaan.
Filosofi
Bisnis
Bisnis sebuah kata yang enak dan mudah diucapkan,
juga termasuk kata yang sering diungkapkan oleh siapapun. Bisnis berawal dari
kata dalam bahasa Inggris, business (baca 'biznis) yang padanan kata Bahasa
Indonesia-nya pekerjaan; perdagangan; perusahaan; urusan dan perkara. Sementara
kamus online http://www.merriam-webster.com/dictionary/business, setidaknya
menyebutkan 10 pengertian business, antara lain : a usually commercial or
mercantile activity engaged in as a means of livelihood ; personal concern.
Sedangkan sinonim (synonyms) business ialah business, commerce, trade,
industry, traffic.
Dalam konteks kekinian bisnis lebih melekat dalam
kegiatan usaha dan urusan perdagangan atau kegiatan yang bersifat komersil.
Sebagai contoh si A memiliki bisnis, setidaknya dia memiliki sejenis usaha yang
akan memberikan keuntungan finansial. Terkait dalam konteks ini ialah istilah
proyek, jual, beli, permintaan, penawaran, transaksi, deal, transfer, cash,
kredit, dan sebagainya. Bisnis itu bisa berupa jasa atau barang. Bisa dalam
jangka pendek atau panjang. Bisa halal dan legal, halal tidak legal, legal
tidak halal, atau tidak halal dan tidak legal.
Tetapi dalam hal ini, bisnis bukan semata urusan
keuntungan dalam bentuk finansial semata. Dalam bisnis ada prestise,
kemanfaatan, kontribusi, amal, dan pahala. Kalau bisnis hanya mengejar
keuntungan finansial semata, terlalu sederhana. Begitu naif. Nilai filosofi
bisnis begitu luas, karena pengertian bisnia juga meliputi urusan dan perkara.
Setiap hari kita memiliki banyak urusan, bisa dengan sesama manusia, begitu
juga dengan Allah SWT, Tuhan yang menciptakan alam semesta, termasuk segenap
manusia. Semua manusia berususan dengan penciptanya. Dengan kata lain bisnis
juga terjadi antara manusia dan penciptanya. Allah SWT akan memberikan nilai
tertentu bagi setiap langkah fisik, hati dan pikir yang dijalankan setiap
manusia.
Dengan demikian, meskipun bisnis dalam pengertian
sempit berarti usaha atau dagang, yang tujuannya mencari keuntungan. Maka
keuntungan harus bersifat idealis, bukan komersialis semata. Kita berbisnis
dengan Bismillah, dengan fokus mencarai ridlo dan pahala Allah SWT. Sedangkan
keuntungan finansial sifatnya relatif, dan itu merupakan bagian dari rejeki
yang telah disiapkanNya untuk kita jemput.
Bisnis
Bukan Teori
Di sebuah kelas perkuliahan, seorang dosen dengan
semangat mengungkap seleku-beluk dan abcd kewirausahaan. Kewirausahaan adalah
....., dan sebagainya, mengurai teori yang bersumber dari sebuah buku 10 bab,
yang berisi seluk-beluk menjadi pengusaha atau pebisnis. Benarkah bisnis bisa
di-teori-kan, sehingga muncul kajian-kajian Pengantar Bisnis, Manajemen Bisnis,
dan sebagainya. Sebenarnya syah-syah saja, sebagaimana hal-hal yang bersifat
keteknikan dibuat teorinya, misalnya Teori Hortikultuta atau Teori
Telekomunikasi. Namun seringkali seseorang terjebak dalam rimba teori,
keasyikan, sehingga lupa bahwa teori itu hanya sekedar wawasan atau
"peta" sebagai panduan perjalanan lebih lanjut.
Mahasiswa terjebak dalam se-jibun teori, ach
menyesakkan. Di kepala-nya ada setumpuk teori, puluhan jenis ilmu. Makin tinggi
strata kuliah, S2, S3, maka teori pun makin banyak dijejalkan. Teori memang
amat penting, terutama sebagai dokumen ilmu. Sulit dibayangkan jika teori atau
ilmu tidak didokumenkan, maka akan terjadi kepunahan bidang-bidang tertentu.
Jika tidak ada teori mesin atau otomotif, maka dunia prakteknya akan kehilangan
generasi berikutnya, bisa stagnan karena tidak ada yang namanya pengembangan
atau kajian.
Tetapi kalau hanya berkonsentrasi di teori, bangsa
ini kapan majunya. Yang lebih dibutuhkan justru praktek atau aplikasi di
lapangan. Bencana kelaparan tidak akan tuntas oleh Teori Kemiskinan, Seminar
Kemelaratan atau se-abreg ilmu sosial lainnya. Kelaparan harus di atasi dengen
pemenuhan kebutuhan pangan, bukan dengan teori Agronomi atau Agroindustri,
tetapi dengan prakteknya.
Begitu pula dengan makin menumpuknya jumlah
pengangguran, perlu di atasi secara taktis operasional, bukan dengan teori
konseptual. Praktek, praktek dan praktek. Dalam hal ini, kita perlu mencontoh
apa yang dilakukan Fakultas Kedokteran, di mana praktek menjadi dominasi.
Karena dokter ya harus praktek, bukan sekedar ber-teori. Sebenarnya bidang kewirausahaan,
bisnis atau apapun namanya, ya harus seperti. Mengutamakan praktek, praktek dan
praktek. Karena bisnis memang bukan teori.
Bisnis
Bukan Sekedar Cari Uang
Bisnis memang bertujuan mencari untung, ada lebih
dari modal yang kita tanam, ada ongkos lelah. Tetapi kalau sekedar untung yang
dicari, cape dehhh ! Ya, akan menjadi cape, lelah yang luar biasa, jika hanya
keuntungan yang dikejar. Ibarat bermain sepak bola, kalau hanya mengejar-ngejar
terjadinya gol begitu melalahkan. Memang tujuan harus tercapai, tetapi yang
tidak kalah pentingnya ialah prosesnya harus dinikmati. Bisnis adalah sebuah
proses, ada tahapan yang harus dilalui. Bisnis adalah dinamika, terjadi
dinamisasi situasi, ada perubahan dan pergerakan.
Sebagaimana sepak bola bisnis juga merupakan
“permainan”, ada aturan main, ada trik, ada stretagi, ada peluang, ada
hambatan, semuanya menjadikan pertandingan semakin dinamis. Masuk ke ranah
bisnis, berarti siap bermain secara elegan dan sportif, siap menang dan kalah,
siap untung dan rugi, bahkan siap bangkrut. Bisnis juga meripakan seni dengan
beragam nilai dan kriteria. Bisnis yang sukses berarti mencapai untung yang
optimal, sekaligus berhasil mengambangkan pribadi pelakunya. Bisnis adalah
ajang pengembangan potensi diri, momen untuk membangkitkan beragam karakter
positif yang dimiliki. Setiap orang pada dasarnya memiliki beberapa karakter
unggul, ada yang muncul, ada yang terpendam, bahkan selamanya terpendam. Nah,
dengan menekuni bisnis, maka beragam karakter positif itu akan terpancing, keluar
dan terasah, sehingga mewarnai pribadi pelaku bisnis.
Bisnis adalah peluang dan tantangan, ancaman dan
hambatan. Dinamika bisnis tergantung seberapa fokus dan konsen dari pelakunya.
Kalau dijalani secara total, maka bisnis menjadi makin dinamis dengan
kontribusi optimal untuk pelakunya. Bisnis juga merupakan pertarungan,
pertarungan fisikal, mental, intelektual, spiritual, manajerial, sosial dan
finansial. Kenyataannya proses bisnis melibatkan beragam aspek dalam kehidupan
pelakunya.
Secara fisikal, bisnis memeras tenaga, dan memang
harus dikerjakan dengan melibatkan organ tubuh. Secara mental, bisnis akan
menghadirkan suasana kejiwaan tertentu, tergantung respon pelakunya, apakah
menjadi “kenikmatan” tersendiri, atau sebaliknya menjadi “tekanan” atau
“gangguan” tersendiri. Secara intelektual, bisnis memang perlu dipikirkan
secara matang. Bisnis adalah olah pikiran, aktivitas intelektual untuk
pencapaian nilai tertentu.
Bisnis juga merupakan proses spiritual, karena
bisnis tidak identik dengan matematika, banyak ketidak-pastian. Pelaku bisnis
dengan kondisi spiritual yang baik akan mudah mengendalikan bisnis dengan
berbagai dinamikanya. Pelaku bisnis dengan kondisi spiritual yang kurang baik,
menjadi mudah terguncang, stres dan depresi jika proses bisnis mengalami
tekanan, hambatan dan ancaman. Bisnis juga merupapakn proses sosial.
Kesuksesan bisnis sangat dipengaruhi oleh kualitas
dan kuantitas jaringan sosial yang dimiliki. Terakhir, bisnis tentu saja
merupakan proses finansial. Bagaimanapun harus ada nilai tambah atau untung
dari proses bisnis.
Begitu menarik dunia bisnis, sehingga makin banyak
orang yang tergiur dan terangsang untuk menekuninya. Ada yang sekedar
coba-coba, ikut-ikutan, bahkan ada yang hanya jadi pengamat dan penonton. Bagi
yang sudah memiliki jam terbang yang tinggi (di atas 10.000 jam) dalam menekuni
bisnis, tentu saja ada kepuasan tersendiri. Ada semacam perasaan mantap,
nyaman, jika sedang “terlarut” dalam proses bisnis. Dengan adanya kemajuan
teknologi informasi, maka rimba bisnis menjadi semakin menarik.
Studi
Kasus
Dari Lampung Menuju Paris
Dalam hangar bingar
bisnis mode tanah air, Aan Ibrahim memang belum sejajar dengan Popy
Darsono, Prayudi, Iwan Tirta atau Ramli. Semua nama yang menjadi ikon mode di
Indonesia tersebut adalah senior dan guru Aan. Sebagaimana pengakuan Aan, yang
ditemui penulis, bulan Agustus 2007 yang lalu di Bandar Lampung.
Nama Popy Darsono sangat penting dalam karir bidang
desainernya. Tahun 1989, ketika Aan mulai menikmati dunia desainer, Popy
mengajaknya untuk mengikuti fashion show di Hotel Sahid Jakarta. Saat itu,
perasaan Aan galau campur minder. Bagaimana tidak, seorang desainer lokal yang
mulai merangkak dan belum dikenal, harus langsung terjun di pagelaran tingkat
nasional bersama desainer kondang yang menjadi member Asosiasi Perancang Mode
Indonesia.
Ternyata momen tersebut menjadi titik balik bagi
bisnis mode yang digeluti Aan. Sehabis pementasan, Aan diwawancarai wartawan
mode ibukota. Ternyata ada ciri khas yang diusung dalam busana rancangan Aan,
yaitu penggunaan kain tapis yang khas Lampung. Tidak itu saja, Pasar Sarinah
yang merupakan BUMN di Jakarta langsung memberikan order 220 pakaian dengan
tiga rancangan, yang harus diselesaikannya selama tiga bulan secara hand made.
Tentu saja Aan girang bukan kepalang, maka dicarilah
teman-temannya yang sanggup meminjamkan modal. Di sini mental dan aktivitas
bisnis Aan kembali mendapat ujian yang berat, dari 220 pakaian jadi yang
disetor ke Sarinah yang berlokasi di Jalan Thamrin Jakarta itu, ternyata yang
diterima hanya 40 potong. Sisanya dikembalikan dan harus diperbaiki, karena
tidak memenuhi standar kualitas.
Sejak itu pula Aan menjadi sadar kualitas dan
menjadi proses pembelajaran yang sangat berarti. Untuk sementara Aan pun shock, tetapi tidak berlangsung
lama. Aan tidak memperbaiki baju yang dikembalikan, tetapi membuatyang baru
sesuai dengan standar kualitas yang ditentukan Sarinah. Adapun produk yang
dikembalikan ia jual di Lampung, dan habis dalam enam bulan. Orang sini saat
itu belum begitu sadar kualitas. Begitu ujar Aan.
Sudah memasuki tahun ke18 Aan menerjuni bisnis mode,
berbagai fashionshow sudah diikutinya, baik yang diselenggarakan di Lampung,
Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia, bahkan sudah mencapai Singapura,
Kuala Lumpur, Hongkong dan Tokyo. Namun Aan belum berhasil menginjakkan kakinya
di Paris, sebagai kiblat mode dunia.
Kendala utamanya bayar peragawatinya mahal,
sekitarRp. 65 juta per orang per pentas, jauh lebih mahal dari tarif peragawati
nasional. Faktor lainnya, dukungan pemerintah masih kurang, beda dengan
kebijakan pemerintah Jepang, yangbegitu progresif mendukung para desainernya
untuk tampil di Paris, sehingga beragam rancangan dari Jepang bisa sejajar
dengan karya orang Eropa. Itulah obsesi Aan, menembus Paris.
Kilas Balik
Aan Ibrahim adalah putera Lampung asli. Desainer
yang tidak berpenampilan glamour itu lahir 12 Juni 1955 di Desa Pagar Dewa,
Tulang Bawang, Lampung. Aan menyelesaikan pendidikan formal di Lampung dan
meraih gelar sarjana dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA), yang
sekarang berkembang menjadi Universitas Tulang Bawang, Bandar Lampung.
Menyangkut soal pendidikan, Aan mengkritisi kualitas pendidikan tinggi, yang
menurutnya masih rendah. Teori yang diajarkan perguruan tinggi sudah ketinggalan
dan ketika lulus sarjana tidak siap pakai. Banyak sarjana baru yang melamar ke
perusahaan Aan tetapi sebagian besar ditolaknya, karena ketika ditanya apa yang
bisa diperbuat,justru malah kebingungan. Padahal pelamar tersebut sudah mematok
gaji awal Rp.1,5 juta.
Menurut Aan, idealnya para sarjana ketika melamar
pekerjaan ke sebuah perusahaan, memberikan pernyataan tertulis sanggup
meningkatkan omset, meskipun hanya satu persen.
Aan yang sebelumnya berstatus PNS di Rumah Sakit
Abdul Muluk, Bandar Lampung tersebut, mengundurkan diri tahun 1982 setelah
berkarir sebagai perawat kurang lebih 15 tahun. Saya bisa memprediksi bahwa
karir saya mentok, paling tinggi hanya manteri atau kepala Puskesmas.
Jangkauannya terbatas, paling hanya mengobati sampai tingkat camat. Bupati
jelas tidak terjangkau, karena mereka berobat ke dokter spesialis. Begitu kilah
Aan, ketika ditanya mengenai alasan
pengunduran dirinya. Padahal semasa sekolah perawat menggunakan sistem
eleminasi, yang prestasinya kurang langsung dropout. Di sekolah itupun
menggunakan sistem ikatan dinas.
Sepanjang tahun 1982-1989, Aan menjalani kehidupan
yang penuh ketidakpastian. Aan mengistilahkannya masuk dalam periode
terseok-seok, bahkan mobil kesayangannya pun terjual. Aan mengevaluasi diri,
ternyata bakatnya sejak kecil adalah menjadi desainer. Namun penerimaan
keluarga dan masyarakat kurang menggemberikan. Menurutnya, saat itu 90 persen
masyarakat Lampung masih mengkotak-kotakkan profesi. Masih beruntung, putera
sulung pasangan Ismi dan Hodijah yang berprofesi pedagang tersebut, mendapat
dukungan penuh sang istri, Rosidah, yang berpikiran moderat. Maka Aan pun resmi
menggeluti dunia desainer, dengan modal awal satu mesin jahit.
Ketekunan dan obsesinya yang luar biasa, membuat
usaha Aan tumbuh dan berkembang. Bahkan sebagian besar dari adiknya yang
berjumlah 16 orang, dari tiga ibu, justru memilih profesi serupa. Di kemudian
hari terbentuklah CV Aan Ibrahim and Brothers, dengan 14 outlet tersebar di
beberapa kota di Indonesia. Tentu saja
usaha pria yang memiliki dua puteri, yaitu Dewi dan Mawar, diwarnai pasang
surut, baik karena sebab internal atau eksternal.
Namun Aan tetap bertahan karena memang bisnisnya
disiapkan tumbuh secara perlahan. Penampilan Aan yang sederhana, cukup dengan
kemeja batik, dan galerinya di Tanjung Karang yang sederhana, menunjukkan hal
itu. Menurut Aan, banyak desainer yang sempat top lantas menghilang bagaikan
ditelan bumi, hal itu karena gaya hidup jor-joran, tidak tahan dipuja-puji
masyarakat dan tidak bisa menahan jiwa konsumerisme.
Kiat Bisnis Aan
Produk Aan Ibrahim memang dikenal mahal, harga baju
rancangannya mencapai jutaan rupiah. Secara tegas Aan memang membidik segmen
pasar menengah ke atas. Menurut Aan, 20 persen masyarakat memang sudah melek
kualitas dan merk, dan itulah sasaran pasar produknya.
Aan sebenarnya banyak memiliki anak buah yang sudah
mandiri, jumlahnyasekitar 30 orang. Mereka dulunya bekerja di perusahaan Aan,
tetapi mengundurkan diri secara baik-baik dan membuat usaha serupa. Bedanya,
kalau harga yang ditawarkan Aan Rp. 1,5 juta, maka mantan anak buahnya itu
hanya Rp. 400 ribu untuk produk yang sekelas. Jelas sasaran pasarnya akan
berbeda, dan keunggulan bersaing Aan lebih pada brand image.
Untuk mewadahi mantan anak buahnya itu, Aan
mendirikan koperasi yang secara bisnis sudah berjalan dengan baik, memiliki
manajer yang digaji tetap, serta pernah mendapat bantuan pemerintah sebesar Rp.
350 juta. Itulah salahsatu prestasi Aan,
selain menumbuhkan usahanya sendiri, ia turut berupaya mengembangkan usaha
teman-temannya. Tak heran jika Aan sering mendapat penghargaan sebagai
pengusaha teladan, baik di tingkat lokal atau nasional.
Aan pun berkiprah dalam berbagai organisasi seperti
Asosiasi Perancang Mode Indonesi, Asosiasi Pertekstilan Indonesia dan Kadin.
Kiat bisnis Aan sederhana saja, bahkan secara terus
terang ia mengatakan, tak ada kiat khusus. Yang jelas obsesinya ingin terus
maju. Salah satu strategi yang dijalankannya memperlakukan pelanggan secara
spesial, diberikan keramahan dan pelayanan terbaik. Selain itu ia selalu
menambah koleksi dan melakukan inovasi.
Bagaimanapun desainer itu identik dengan memproduksi
gagasan. Seringkali ia mengalami kebuntuan. Misalnya ada show dalam beberapa
pekan mendatang, tetapi ide untuk materi pementasan tidak muncul. Kadang-kadang
setelah marah-marah, baru ide itu muncul begitu saja, atau kadang-kadang
setelah ia mondar-mandir ke sana ke mari, baru ada ide rancangan paling
mutakhirnya.
Menurut Aan yang memiliki latar belakang sebagai
penjahit, menjadi desainer tidak mutlak berawal dari menjahit. Tidak banyak
penjahit yang berubah status menjadi desainer, karena tidak punya ide.
Seseorang dikatakan disainer harus punya garis rancangan yang tegas, beda
dengan yang lain, dan paling tidak harus mempekerjakan minimal 15 orang.
Sebagai contoh, perancang busana senior Prayudi, jejaknya banyak diteruskan
para asistennya, namun semuanya mengacu pada pakem atau konsep yang
ditetapkanPrayudi.
Sebagai manajer CV Aan Ibrahim, sebenarnya ia
seringkali melakukan kegiatan menjahit, merancang, bahkan promosi sendiri.
Jelas sistem manajemennya masih terkesan tradisional. Sampai saat ini CV Aan
Ibrahim belum memiliki manajer produksi, keuangan atau pemasaran, semuanya
dikendalikan Aan.
Dibajak Setiap
Hari
Sudah ribuan rancangan yang sudah dibuat Aan. Ia
mengakui tidak memiliki dokumentasi, bahkan foto-foto rancangannya pun tidak
lengkap. Padahal karya Aan Ibrahim menjadi barometer dunia fashion di Lampung.
Setiap hari karya-karya Aan yang eklusif dibajak penjahit atau industri
konveksi di Lampung, selanjutnya dijual dengan harga miring di toko-toko busana
yang ada.
Bahkan Aan punyapengalaman menarik, yaitu ketika
seorang istri pejabat memesan gaun super spesial yang dirancang dan dibuat
secara khusus. Sang istri pejabat protes berat ketika diketahuinya ada ibu-ibu
lain yang menggunakan busana serupa tapi beda warna, ia menuduh Aan telah
menggandakan rancangan spesialnya. Tentu saja Aan tidak menerima tiuduhan itu,
bagaimanapun ia memiliki kredibilitas tinggi. Maka Aan pun mengusutnya,
hasilnya menunjukkan bahwa pembajakan karyanya itu dilakukan melalui foto istri
pejabat tersebut, yang sedang berpose dengan penganten saat ia menghadiri
undangan pernikahan. Dengan gamblang Aan pun memberi penjelasan, menurutnya
istri pejabat tersebut seharusnya bangga, karena menjadi seperti Lady Day, yang
ketika foto-fotonya muncul di media, maka busana yang dikenakannya langsung
menjadi trend dan diproduksi di seluruh dunia. Akhirnya istri pejabat itupun
hanya mesem-mesem.
Membajak suatu rancangan sangat mudah, tinggal
melihat di foto. Namun bagaimanapun merk tetap menjadi jaminan kualitas dan
gengsi. Perlahan tapi pasti busana dengan merk Aan Ibrahim, apalagi yang
bersifat hand made, saat ini sudah memiliki pangsa pasar tersendiri. Sebagian
konsumen Aan sudah memahami mana produk asli dan mana yang bajakan. Ada semacam
kepuasan tersendiri dari konsumen terhadap rancangan spesifiknya, sehingga
faktor harga menjadi sangat relatif.
Pengembangan
Usaha
Sebagai pengusaha lokal, aktivitas bisnis Aan
menghadapi beragam peluang dan tantangan. Selain menekuni bisnis busana, Aan
pun sempat terjun di bisnis media, yaitu dengan menerbitkan tabloid busana,
hiburan dan keluarga “Pesona”. Melalui media tersebut, Aan berupaya mencetak wartawan yang
profesional da nanti KKN. Tetapi dalam
perkembangannya, tabloid tersebut kandas ditengah jalan, terutama karena
kelemahan SDM. Padahal modal yang telah dikucurkan Aan tak kurang dari Rp. 600
juta.
Menyangkut pembukaan outlet untuk galerinya pun,
tahun 1995 Aan juga mengalami kegagalan dengan kerugian yang tidak sedikit.
Saat itu, bersama teman-temannya Aan menyewa satu space di Cinere Mall.
Ternyata kalkulasi bisnisnya keliru, karena saat itu mall tersebut masih sepi
pengunjung.
Itulah dunia usaha yang penuh dinamika, dibutuhkan
stamina, keuletan dan kesabaran untuk mensiasatinya. Aktivitas bisnis Aan terus
bergulir, sedikitnya dua bulan sekali ia melakukan show sebagai ajang promosi.
Menurut pengakuannya, sekali show minimal harus dikeluarkan biaya Rp. 200 juta.
Bagai Aan, prinsip pengembangan usahanya mengalir saja, tidak ada trik-trik
khusus. Ia lebih banyak belajar dari pengalaman dan tanggapan serta kepuasan
para konsumennya. Aan memang berobsesi menembus Paris dan mengekspor busana
rancangannya. Kendala klasik yang dihadapinya menyangkut tenaga kerja dan
quality control, terutama apabila menghadapi order yang cukup besar.
Berdasarkan pengalamannya ia pernah diklaim pengusaha di Singapura, karena semua
bajunya berbulu, karena memang terbuat dari benang yang mudah terurai. Untuk
menghadapi klaim tersebut, maka Aan pun mencari benang khusus, sesuai dengan
permintaan konsumen di Singapura.
Kegiatan usaha Aan memang memberikan manfaat bagi
masyarakat sekitar, bahkan untuk sulaman, secara home industry tersebar sampai
ke wilayah Tenggamus dan Lampung Timur. Meskipun untuk para pengrajin tersebut
upah yang diberikan masih di bawah UMR, tetapi para pengrajin masih antusias,
karena kesehariannya sebagian besar adalah ibu-ibu rumah tangga yang memiliki
banyak waktu luang. Sulit bagi Aan untuk menaikan upah pekerja tidak tetapnya
itu, karena baju sulaman yang dikerjakan selama sebulan oleh tiga orang itu,
berharga Rp. 1,6 juta. Kalau upah dinaikkan, maka harga jual bajunya pun harus
meningkat, tentu saja menjadi sulit mencari konsumennya.
Di tengah iklim usaha yang kurang kondusif dan
kebijakan pemerintah yang kurang menentu, Aan terus berkarya, bahkan menurut
rencannya ia akan merambah bisnis loundry dan salon, sekaligus mengembangkan
galeri pusatnya yang ada di Lampung. Harapan pengusaha yang menurut
pengakuannya masih sedang mencari jati diri itu, semoga apresiasi masyarakat
terhadap karya-karyanya makin meningkat.
*** Berdasarkan wawancara Penulis dengan Aan Ibrahim, sekitar Agustus 2007 di
Bandar Lampung.
Referensi
:
Atep Afia
Hidayat. 2011. Dari Lampung Menuju Paris – Kisah Sukses Pengusaha Aan Ibrahim.
Atep Afia
Hidayat. 2011. Bisnis Bukan Teori. Dalam : http://www.pantonanews.com/229-bisnis-bukan-teori
Atep Afia
Hidayat. 2011. Filosofi Bisnis.
Atep Afia
Hidayat. 2011. Kewirausahaan Bisa Dipelajari. Dalam : http://www.pantonanews.com/160-kewirausahaan-bisa-dipelajari
Atep Afia
Hidayat. 2011. Bisnis Bukan Sekedar Cari Uang. Dalam :
Douglas
McGregor. 1966 .The Human Side of Enterprise. Reflections Vol 2 No.1.
0 komentar:
Posting Komentar