CARA “GILA”
DAN CARA ‘TIDAK GILA” MENJADI PENGUSAHA
10 Jurus Terlarang (Kok Masih Mau Bisnis Cara Biasa?)
Untuk maju dalam bisnis atau kegiatan apa pun, tidak jarang kita membutuhkan ide-ide sekaligus tindakan ‘gila.’ Kegilaan yang lepas dari standar baku sebuah proses usaha. Tak jarang kemajuan diperoleh dari cara-cara yang tidak biasa. Nah, dalam bukunya berjudul 10 Jurus Terlarang (Kok Masih Mau Bisnis Cara Biasa?), Ippho Santosa mengajak para pebisnis berani mengeksplorasi jalan-jalan bisnis alternatif yang tidak monoton alias biasa-biasa saja.10 jurus yang Ippho tawarkan dalam buku ini menjadi semacam reminder bagi mereka yang mau dan sedang menjalani bisnis. Dengan cara bertutur yang sangat personal, bahasa yang renyah dibaca, nukilan-nukilan para maestro bisnis, Ippho menyajikan satu bacaan yang enak sekaligus kental gizinya. Banyak orang berbisnis dengan berbekal ragam teori. Tapi, tanpa kreativitas dari pebisnis, bisnisnya tidak bakal berkembang. Apalagi dunia kontemporer menyuguhkan kejutan-kejutan baru dan ketidakpastian. Oleh karenanya, diperlukan inovasi, kreativitas, dan terobosan-terobosan baru dalam memutar roda bisnis bila tidak ingin bisnisnya berakhir dengan kehancuran atau pailit.
Untuk maju dalam bisnis atau kegiatan apa pun, tidak jarang kita membutuhkan ide-ide sekaligus tindakan ‘gila.’ Kegilaan yang lepas dari standar baku sebuah proses usaha. Tak jarang kemajuan diperoleh dari cara-cara yang tidak biasa. Nah, dalam bukunya berjudul 10 Jurus Terlarang (Kok Masih Mau Bisnis Cara Biasa?), Ippho Santosa mengajak para pebisnis berani mengeksplorasi jalan-jalan bisnis alternatif yang tidak monoton alias biasa-biasa saja.10 jurus yang Ippho tawarkan dalam buku ini menjadi semacam reminder bagi mereka yang mau dan sedang menjalani bisnis. Dengan cara bertutur yang sangat personal, bahasa yang renyah dibaca, nukilan-nukilan para maestro bisnis, Ippho menyajikan satu bacaan yang enak sekaligus kental gizinya. Banyak orang berbisnis dengan berbekal ragam teori. Tapi, tanpa kreativitas dari pebisnis, bisnisnya tidak bakal berkembang. Apalagi dunia kontemporer menyuguhkan kejutan-kejutan baru dan ketidakpastian. Oleh karenanya, diperlukan inovasi, kreativitas, dan terobosan-terobosan baru dalam memutar roda bisnis bila tidak ingin bisnisnya berakhir dengan kehancuran atau pailit.
Jurus pertama, memulai
dengan yang kanan. Ippho mengajak pembaca mengoptimalkan peran otak kanan.
Pakar psikologi Daniel Goleman hemisfer otak kanan merupakan otak emosional.
Ini terkait dengan kecerdasan emosional (EQ) dan dekat dengan daya intuitif,
kreatif, dan ekstensif. Sementara, otak kiri merupakan otak rasional yang
memuat daya analisis, kalkulasi, dan perincian. Mayoritas orang kuat otak
kirinya. Sementara, mereka yang kuat otak kanannya boleh dibilang minoritas.
Justru di dalam suatu yang tidak mengikuti arus besar (mainstream) inilah
‘kegilaan’ itu berada. Seorang pebisnis yang visioner berani menggunakan
intuisinya. Sering terjadi petunjuk-petunjuk bisnis di pasar tidak komplit.
Intuisi sangat berperan di sini. Selain itu, kreativitas menjadi penting. Guru
pemasaran Philip Kotler mengakui ampuhnya kreativitas dalam marketing
jeniusnya. Terakhir, satu kemampuan otak kanan adalah berpikir meluas. Seorang
pebisnis butuh gambaran meluas tentang bisnisnya, impiannya, dan visinya.
Jurus kedua, keberanian
memiliki impian dan mengeksekusinya dalam tindakan. Ippho memaparkan beberapa
teladan bisnis-bisnis maupun penemuan besar yang lahir dari sebuah impian.
Sebut saja Walt Disney dengan Disneyland, Einstein dengan Teori Relativitasnya,
Wright bersaudara dengan khayalan pesawat terbangnya. Tapi, impian akan tinggal
impian bila tidak ada aksi. Untuk itu, Ippho membuat rumusan DNA, dream
and action.
Jurus ketiga, terjun
seperti rollercoaster. Ippho
mengajak orang menyiasati kegagalan. Pebisnis tidak akan maju jika tidak berani
gagal. Kegagalan itu bumbu dalam bisnis. Donald Thrump dan Robert Kiyosaki
pernah pailit. Tapi, mereka cukup ‘keras kepala’ untuk meratapi kegagalan.
Layaknya rollercoaster, bisnis
mereka harus kembali naik.
Jurus keempat, berdamai
dengan badai. Sering kali orang menemukan kelemahan dalam bisnisnya dan ia
cenderung memilih meratapi ketimbang bangkit. John Foppe, seorang yang
dilahirkan dalam keadaan tidak berlengan mampu mengatasi kelemahannya. Ia mampu
mengendarai mobil pada usia 16 tahun. Kini, ia populer sebagai motivator
kawakan di Zig Ziglar Corporation. Kuncinya tak lain adalah passion.
Jurus kelima, duduk sama
rendah. Semangat kebersamaan dan kerjasama tim jadi penting dalam bisnis. Ippho
menyebutnya dengan team in love. Cinta (love)
di sini diurai berdasarkan opini Sigmund Freud yang membagi cinta dalam 4
unsur, yakni hormat (respect),
perhatian (care),
tanggung jawab (responsibility),
dan pengetahuan (knowledge).
Empat unsur ini penting dimiliki oleh seorang pebisnis.
Jurus keenam, gantilah
gelar dan jabatan. Personal branding sangat penting dalam membuka relasi
bisnis. Caranya bisa sangat nyentrik. Ippho memberi tips cara gila membuat
gelar. Termasuk cara gila memanfaatkan dan menebar kartu nama untuk membangun
jejaring bisnis. Tom Peters berpendapat kartu nama itu tak ubahnya seperti
kemasan. Sedikit banyak dapat menentukan apakah produk layak dipercaya atau
tidak. Satu lagi, Ippho mengajak bagaimana secara gila menyapa pelanggan agar
bisa ‘terbuai’ pada tujuan bisnis kita.
Jurus ketujuh, masuk surga
paling dulu. Dengan judul lucu ini, Ippho mau mengajak orang bermental
pengusaha maupun pemimpin. Seorang pengusaha akan membuka peluang kerja.
Seorang pemimpin yang bijak akan menciptakan pemimpin di bawahnya. Dengan
begitu, pondasi bisnis akan semakin kokoh. Ippho juga menawarkan satu cara gila
bagaimana pembeli bisa mengejar-ngejar penjual. Sebuah cara gila yang membuat
rejeki datang menghampiri kita dan bukan kita yang susah payah mencari rejeki.
Jurus kedelapan,
membiarkan kudeta. Dalam jurus ini, Ippho memberi cara gila membuat merek punya
nilai komersial. Bahkan, pada taraf tertentu, membiarkan konsumen sendirilah
yang ‘membajak’ merek tersebut. Menyitir gagasan kontroversial Alex Wipperfurth
dalam Brand Hijack: Marketing without
Marketing. Baginya, merek adalah kanvas kosong. Konsumen dibiarkan
mewarnainya. Bahkan, ‘membajak’ merek tersebut (brand hijack). Aplikasinya, bagaiman para
pelanggan loyal membentuk sebuah komunitas merek dan mereka merekrut semakin
banyak anggota lagi.
Jurus kesembilan, mewaspadai
zaman Edan. Ippho menekankan pentingnya pandangan positif pada zaman yang
berubah dengan cepat. Ia menangkap ada 5 tren bisnis kontemporer, yaknipursuit spirituality, social marketing, people
power, pursuit of simplicity, dan positivity
insurection. Pada saat ini, pebisnis pun mulai menggali
inspirasi bisnis dari sumber-sumber spiritual. Pebisnis juga mulai
memperhatikan isu-isu ekologi dan sosial kemasyarakatan dalam kebijakan
bisnisnya. Konsumen punya daya pengaruh kuat. Konsumen menginginkan produk-produk
yang mengusung kepraktisan. Para pebisnis mulai berfokus pada apa yang bisa
dikendalikan di tengah dunia serba krisis ini.
Jurus kesepuluh, mati
dengan tenang. Bisnis tidak hanya perkara mengeruk keuntungan. Ippho mengajak
pebisnis untuk membuka diri pada kepedulian sosial dengan passion dan compassion. Intinya,
bagaimana para pebisnis juga memerhatikan etika dalam bisnis. Berbisnis dengan
hati (conscience)
sekaligus berbisnis dengan hati-hati (cautiousness).
Nah, ide-ide yang tersebar
di buku Ippho ini mungkin boleh dibilang tidak baru. Tapi, satu kelebihan Ippho
adalah mampu menyajikan ide-ide kreatif dan bahkan kontroversial dalam satu
lanskap yang memudahkan pembaca mampu membaca ide-ide itu dalam satu rangkaian
utuh. Apalagi Ippho mampu memberi contoh kasus yang kontekstual dengan
persoalan lokal. Gaya penuturan yang amat personal membuat pembaca seperti
berbincang-bincang dengan Ippho sendiri. Bagi pebisnis, buku ini seperti sebuah
‘camilan’ bergizi yang layak dikonsumsi. Renyah dan menyehatkan.
Sigit Kurniawan adalah seorang
redaktur Majalah Marketing dan pengasuh Meja Baca, sebuah
weblog penggiat budaya membaca.
Sumber :
Resensi Buku 10 Jurus Terlarang (Kok Masih Mau Bisnis Cara
Biasa?)
Pengarang : Ippho Santosa
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun : 2007
Tebal : xii + 145
Pengarang : Ippho Santosa
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun : 2007
Tebal : xii + 145
Oleh : Sigit Kurniawan
http://mukhlisukses.wordpress.com/2008/04/26/cara-gila-menjadi-pengusaha/
http://mukhlisukses.wordpress.com/2008/04/26/cara-gila-menjadi-pengusaha/
29 Juni
2009
Cara “Gila” Jadi Pengusaha
Buku Cara Gila Jadi Pengusaha yang
ditulis Purdi E. Chandra, seorang pengusaha sukses di bidang pendidikan luar
sekolah – sangat menarik untuk dibaca. Mampu menularkan virus kewirausahaan
sesuai dengan sub judulnya Virus Entrepreneur Jadi Pengusaha Sukses. Cover
depan buku ini sangat menarik sehingga peresensi tergugah untuk membeli dan
membaca. Ternyata pembahasannya nyaris sama dengan buku Purdi yang berjudul
Menjadi Entrepreneur Sukses (Grasindo, Jakarta, cetakan ke-enam, April 2005).
Hanya beberapa sub bagian saja yang mengalami perubahan. Plus mendapatkan bonus
DVD seminar Cara Gila Jadi Pengusaha.
Selain
itu, yang mengalami perubahan adalah foto Purdi pada desain cover depan. Purdi.
Pada buku terdahulu, Purdi mengenakan setelan jas lengkap dengan dasi..
Struktur buku terdiri dari 80 sub bagian yang dikelompokan menjadi 7 bagian.
Pada cover buku yang sekarang, foto Purdi nampak lebih muda mengenakan kemeja
batik lengan pendek bermotif bunga-bunga kecil yang peresensi tidak tahu nama
bunganya. Struktur buku terdiri dari 76 sub bagian yang dikelompokan menjadi 8
bagian.
Sebagai
bahan perbandingan, pada buku terdahulu bagian-bagianya yaitu ;
- Berani
Modal Awal Entrepreneur
- Menjadi
Entrepreneur Bagaimana?
- Pentingnya
Kecerdasan Emosi
- Gaya
Kepemimpinan Entrepreneur
- Intuisi
Itu Perlu
- Mempelajari
Pengalaman Entrepreneur Lain
- Entrepreneur
University
Sedangkan
pada buku yang sekarang bagiannya terdiri dari;
- Modal
Jadi Entrepreneur Itu Cuma Berani dan Mimpi
- Ini
Caranya Jadi Entrepreneur!
- Kecerdasan
Emosional Penting Penting bagi Entrepreneur
- Gaya
Memimpin Seorang Entrepreneur
- Jalur
Cepat Jadi Entrepreneur Sukses
- Hati
Nurani dan Intuisi sang Entrepreneur
- Apa
yang Kita Pelajari dari Mereka?
- Entrepreneur
adalah Soko Guru Perekonomian
Niat
Purdi menerbitkan buku Cara Gila Jadi Pengusaha ini sangat mulya dan patut
diacungkan dua jempol. Seperti yang ditulis dalam kata pengantar yang diberi
judul Entrepreneur; Virus Maut, Cepat Menular, Bikin Pengidapnya “Gila”.
Waspadalah!, sebuah kata pengantar yang sangat kontraversial tapi bernilai
jual. Penulisnya memang piawai dalam membaca tren perbukuan, dan potensi pasar
pembaca yang cenderung memilih buku dengan judul kontraversial.
Menurut
Purdi, selain keberanian seorang entrepreneur modalnya adalah mimpi. Hal itu
tertuang pada bagian satu yang berjudul Modal entrepreneur itu cuma berani dan
mimpi! Keberanian seorang entrepreneur memang melekat pada diri penulis buku
ini. Berani menjual produk lama dengan tampilan kemasan baru yang didesain
sedemikian rupa sehingga memiliki daya pikat yang dahsyat. Menghilangkan enam
sub bagian berikut; Jadi Pengusaha Tanpa Gelar, Tanpa Ujian Tanpa Nilai,
Diwisuda setelah Jadi Pengusaha, Praktek Mancing Praktik Bisnis, Dari Pengusaha
Sampai Raja Tempe, dan sub bagian Bisnis Belum Dianggap Bekerja.
Plus
hanya menambah dua komponen pembahasan baru diantaranya pada; sub bagian 64-
Dengan Otak Kanan Mengubah Musibah Jadi Barokah, dan sub bagian 76 - Yuk
Menjual Perusahaan! Meraih Mimpi Bersama-Berkali-kali. Peresensi punya
keyakinan “virus” ini-demikian Purdi memberikan istilah pada ilmu
entrepreneurnya, akan menjadi buku best seller.
Kaum
perempuan boleh berbangga hati bila membaca halaman 61 yang membahas,
entrepreneur wanita memiliki banyak kelebihan karena ‘kewanitaannya’. Lebih
luwes dan fleksibel, dan intuisi bisnisnya lebih peka. Penulis buku ini
menyebutkan contoh wanita entrepreneur sukses seperti; Dr. Martha Tilaar,
Moeryati Soedibyo, Poppy Dharsono, Dewi Motik, dan Nyonya Suharti. Apalagi
dipertegas dengan pendapat Candida G. Brush, seorang professor assistant dari
Management Police of Boston University,”entrepreneur wanita lebih kooperatif,
informal, dan lebih mudah membangun kesepakatan dengan pihak lain. Sebaliknya
entrepreneur laki-laki cenderung lebih kompetitif, lebih terkesan formal, dan
lebih suka terkesan sistematik”.
Sebagai seorang
entrepreneur, pertimbangan intuisi dalam mengambil keputusan juga sangat
penting. Purdi mencontohkan saat akan membuka cabang perusahaannya di Solo,
mobil yang mengangkut perlengkapan menabrak pohon. Beberapa rekan menyarankan
untuk menunda pembukaan cabang di Solo dengan pertimbangan belum mulai usaha
sudah mendapatkan musibah. Tetapi Purdi memiliki pertimbangan lain untuk melanjutkan,
merubah mind set tahayaul yang sudah mendarah daging menjadikannya hikmah.
Mungkin peristiwa ini sebagai tebusan yang mahal untuk kemajuan perusahaan.
Terbukti kemudian, cabang Solo memiliki 10 outlet dengan siswa bimbingan
belajar paling banyak. Lihat sub bagian 64- Dengan Otak Kanan Mengubah Musibah
Jadi barokah (halaman 188-190).
Pada bagian lain di
halaman 177, dalam kondisi perekonomian yang tidak menentu Purdi menyarankan
untuk melakukan Jamming. Seperti kutipan pendapat Tom Peter, “perubahan yang
serba cepat dan cenderung kacau itu pertanda zaman edan.” Jadi sangatlah wajar
manakala buku ini diberi judul Cara Gila Jadi Pengusaha. Dengan begitu kita
sebagai entrepreneur akan lebih siap menghadapi perubahan, dan akan lebih siap
lagi mengatasi krisis, jika kita berhasil melakukan Jamming, tulisnya. Jamming
itu identik dengan improvisasi yang dapat memunculkan ide-ide bisnis yang
kratif dan inovatif.
Pada sub bagian terakhir dari halaman 228 – 231, Purdi mengajak
pembaca untuk menjual perusahaan . “Yuk! Menjual Perusahaan! Meraih Mimpi
Bersama, Berkali-kali,” demikian sub bagian akhir diberinya judul. Ooops…nanti
dulu, yang dimaksud menjual perusahaan menurut Purdi, menjual perusahaan secara franchise. “Ini yang disebut menjual perusahaan
berkali-kali,”tulisnnya. Seperti yang dilakukannya menjual Primagama secara
franchise yang kini sudah menggurita menjadi 600 cabang.
Di lembaran terakhir
terdapat brosur Entrepreneur University, sekolah bagi semua yang ingin menjadi
pengusaha. Sekali dayung – berkali-kali pulau terlampaui. He…he…he..!!!
Good Luck…… Mr. Purdi!
Sumber :
Hadi
Hartono (Peresensi)
29 Juni 2009
Cara “Gila”
Jadi Pengusaha (2)
Beberapa hari yang lalu, saya membaca email di milis EU-2002 yang menawarkan DVD “Cara Gila Menjadi Pengusaha”. Karena saya adalah orang yang selalu tertarik dengan media-media yang membawakan berbagai content baru, saya coba order DVD tersebut melalui pesanan on-line. Ternyata, dalam waktu 48 jam, DVD sudah saya terima, sehingga pada malam harinya, ketika sudah agak santai, saya bisa mencoba untuk memutarnya di komputer saya.
Tokoh sentral dalam rekaman itu sudah tentu Purdi E. Chandra, pemilik lembaga pendidikan “Primagama” sekaligus pencetus ide “Cara Gila Jadi Pengusaha”. Pada pemunculannya di menit-menit pertama, saya terkesan bahwa penampilan Purdi “biasa-biasa” saja. Malah saya berfikir, tampaknya tokoh kita ini bukan tipe seorang presenter sebagaimana yang kita lihat dalam diri Kris Biantoro atau Farhan, lebih-lebih bukan juga tipe orator, seperti Bung Karno atau Fidel Castro misalnya. Maka, alih-alih dari melihat action beliau, saya coba untuk “hanya” mendengarkan materi pembicaraannya saja.
Lucu juga apa yang terjadi kemudian. Awalnya, saya sangat santai, bahkan terlalu santai ketika menyimak tanpa melihat ke layar, sambil mencoret-coret di atas kertas untuk keperluan kantor esok pagi. Namun tak lama, ibarat mesin diesel yang memerlukan beberapa waktu untuk menjadi panas, begitu pulalah perkembangan perhatian saya pada tayangan DVD tersebut. Lewat sepuluh menit sejak pembukaan, pembahasan Purdi makin menarik. Saya mulai meletakkan pena dan menoleh ke layar monitor. Lewat 30 menit, posisi duduk saya sudah sedemikian dekat dengan layar kaca, dan ketika bos Primagama ini mulai mengupas hal-hal yang berbau spiritual, saya sudah sangat terpaku menyimak penuh konsentrasi.
Tahukah Anda, bahwa akhirnya saya menghabiskan waktu menyaksikan DVD yang berdurasi lebih dari 3 jam itu, sampai pukul 1 lewat tengah malam? Dan non stop pula?
Banyak hal yang bisa saya tangkap dari tayangan DVD “Cara Gila..”, terutama sekali dari figur Purdi E. Chandra sendiri. Dan dari banyak hal tersebut, beberapa di antaranya saya kira perlu dicermati:
1) Purdi yang kita kenal sebagai sosok praktisi kewirausahaan, ternyata tidak saja memahami secara utuh tentang seluk beluk dunia bisnis dari segi teknis-praktis, namun lebih dari itu, ia juga mengerti dengan baik soal-soal yang menyangkut aspek spiritual. Di antaranya, ia mengatakan bahwa kalau seseorang ingin berhasil dalam berwirausaha, maka orang itu juga harus memperhatikan bahwa diperlukan aktivitas beramal, bersedekah atau kegiatan apa saja yang sifatnya memberi. Jangan sekali-kali berfikir ingin untung sendiri, hanya menerima tanpa pernah memberi pada orang lain. Sebab, alam selalu memerlukan perimbangan, kalau ada sesuatu yang masuk, maka seharusnya juga ada yang keluar Kalau ada yang tercurah ke bawah, maka seharusnya juga ada yang menguap ke atas. Sebagaimana alam mengatur air hujan yang turun ke bumi, mengisi sungai dan laut, menguap karena terkena panas matahari, berubah menjadi awan, untuk kemudian terjadi kondensasi dan akhirnya turun menjadi air hujan kembali. Dengan begitu, siklus alam ini berjalan dengan baik, tidak ada yang tersumbat. Siklus yang secara fisika kita sebut dengan “ecosystem”, suatu sistem universal yang mengatur perimbangan interaksi berbagai unsur yang terdapat di alam ini. Purdi sangat yakin bahwa sistem yang sama berlaku pula dalam dunia tak kasat mata, bahwa sebuah “spiritual ecosystem” juga berjalan secara harmonis. Sebuah sistem yang memberi pengaruh kuat atas segala fenomena yang terjadi di muka bumi, tidak terkecuali di dunia usaha. Chin Ning Chu, pimpinan perusahaan Asian Marketing Consultant, dalam karyanya “Thick Face Black Heart” (Muka Tebal Hati Hitam) menulis tentang hal yang sejalan dengan keyakinan Purdi. Chin menamakan fenomena spiritual itu dengan “darma”, yaitu sebuah hukum perimbangan yang mutlak terjadi menurut ketentuan-ketentuan alam. Siapa yang menanam, dia akan menuai. Sebaliknya, siapa ingin menuai, maka ia harus menanam terlebih dahulu. Demikian seterusnya. Lebih jauh, pendiri Primagama ini juga berusaha menyadarkan audiens bahwa semua sistem keseimbangan alam itu berasal hanya dari satu sumber saja, yaitu Sang Maha Sistem, Sang Penguasa Alam Semesta yang kita sebut dengan Tuhan. Maka, Purdi mengajak semua pendengarnya untuk meningkatkan spiritualisme terhadap Tuhan dengan berzikir, memuji kebesaran Allah sebanyak-banyaknya, kapan saja dan di mana saja. Ini luar biasa, sebab hampir semua wirausahawan top di dunia ini adalah orang-orang yang menjunjung tinggi spiritualisme. Ambil contoh, DR. An Wang (Wang Computers) dan Stan Shih (Acer) adalah penganut-penganut konfusianisme yang kental. Ternyata, Purdi mengerti itu!
2) Seminar tersebut dinamakan “Cara Gila Menjadi Pengusaha”, oleh karenanya tidak heran kalau pembicaranya juga menyebut-nyebut soal kegilaan dalam memulai usaha. Kalau tidak hati-hati, orang bisa saja menerjemahkan “gila” itu sebagai “gila-gilaan”, yang berkonotasi sebuah kenekatan tanpa perhitungan, kesemberonoan atau sebuah tindakan berjibaku tanpa mempedulikan lagi akibat-akibatnya. Apakah demikian? Entah karena memang sulit, atau karena yakin bahwa pendengarnya adalah orang-orang yang cerdas semua, saya tidak melihat Purdi E. Chandra menjabarkan lebih jauh tentang makna kegilaannya itu secara eksplisit. Ini tentu cukup riskan. Sebab, salah-salah, sebagian orang akan benar-benar mengartikan kegilaan itu sebagai tindakan pasukan jibaku-tai, tindakan bertaruh nyawa secara untung-untungan tanpa mikir! Meski demikian, saya kagum dengan cara tokoh ini mengistilahkan kata-kata simpel “gila”. Saya yakin, bahwa itulah cara Purdi untuk mensimplifikasi sebuah konsep kreativitas, yang oleh Edward De Bono diistilahkan dengan kata-kata “lateral thinking”. Coba perhatikan apa yang dikatakan oleh Edward: “…we have not yet paid serious attention to creativity. The first and most powerful reason is that every valuable creativity idea must always be logical in hindsight. If not logical in hindsight, then it would simply be a crazy idea..” Kita belum memberikan perhatian serius atas kreativitas. Penyebab utamanya adalah kita selalu beranggapan bahwa ide yang kreatif itu harus masuk akal, jika tidak masuk akal, maka itu hanyalah sebuah ide gila..! Edward De Bono memang pakar kreativitas. Ia mengerti sekali, bahwa kreativitas yang paling berharga itu hanya berjarak tipis terhadap kegilaan. Dan kegilaan Edward telah ia buktikan sendiri ketika ia mencetuskan ide untuk memasang lift di bagian luar gedung, bukan di dalam, demi menjawab tantangan penghematan ruang. Terbukti sekarang kita lihat berbagai gedung perkantoran, mal dan pusat perbelanjaan memasang liftnya di bagian luar gedung. Dengan kegilaan yang sama, UNITED COLORS OF BENETTON mendirikan banyak sekali gerai-gerai kecil dengan paduan warna-warni yang memikat hati. Dengan kegilaan yang sama, Pepsi menggelar pertunjukan super kolosal sang maha bintang Michael Jackson demi mengangkat citra produk minumannya. Dan dengan kegilaan yang sama pula, Purdi E. Chandra mengembangkan franchising Primagama ke seluruh Indonesia.
3) Bagaimana pula dengan istilah “kaya” dan “malas”? Intuisi saya mengatakan bahwa kalau orang sekaliber Purdi mengatakan “kaya”, maka yang dikatakannya itu adalah “kaya” (dengan tanda kutip) bukan kaya (tanpa tanda kutip). Apa artinya? “Kaya” artinya sejahtera bersama, paling tidak mereka yang memiliki kelebihan mau berbagi dengan mereka yang kekurangan. Sedangkan kaya berarti mereka yang ingin makmur sendiri, hanya menerima tanpa mau memberi, egois, hura-hura sendiri, plesir sendiri dan akhirnya mati sendiri pula. Demikian juga dengan perbedaan antara “malas” dengan malas. “Malas” artinya bekerja dengan ide dan gagasan, dengan otak bukan dengan otot, smart work, efektif dan efisien. Sedangkan malas adalah kemalasan ala si Kabayan, tidur sepanjang hari dari pagi sampai ke pagi lagi, tanpa pernah menggunakan baik otot mau pun otaknya.
Kesimpulan final yang dapat saya tarik dari DVD “Cara Gila Menjadi Pengusaha” adalah tidak terbatas dari sekadar mengatakan bahwa figur Purdi E. Chandra itu sebagai figur yang hebat dan monumental, tapi lebih dari itu saya ingin menyampaikan bahwa berbahagialah bangsa Indonesia ini yang masih diberi kesempatan untuk memiliki sosok wirausahawan seperti dia. Sosok yang dalam kesuksesannya, masih mau berbagi dengan sesama, agar banyak orang juga berkesempatan meraih sukses serupa. Dibutuhkan lebih banyak lagi Purdi-Purdi lain, agar bangsa tercinta ini dapat segera bangkit dari keterpurukan yang sudah berlarut-larut. Saya juga ingin menyampaikan selamat kepada warga EU, yang sudah dikaruniai Tuhan untuk bertemu dan belajar tentang sukses dari orang sukses seperti Purdi. Semoga akan segera muncul Purdi-Purdi junior yang akan menyusul jejak sang “Mbah” menggalang kekuatan ekonomi bangsa melalui kewirausahaan.
Akhirul kata perkenankan saya mengucapkan kalimat dalam bahasa Mandarin :
“ZHU NIMEN DOU KUAI’ LE”
“Semoga Anda semua berbahagia”
Beberapa hari yang lalu, saya membaca email di milis EU-2002 yang menawarkan DVD “Cara Gila Menjadi Pengusaha”. Karena saya adalah orang yang selalu tertarik dengan media-media yang membawakan berbagai content baru, saya coba order DVD tersebut melalui pesanan on-line. Ternyata, dalam waktu 48 jam, DVD sudah saya terima, sehingga pada malam harinya, ketika sudah agak santai, saya bisa mencoba untuk memutarnya di komputer saya.
Tokoh sentral dalam rekaman itu sudah tentu Purdi E. Chandra, pemilik lembaga pendidikan “Primagama” sekaligus pencetus ide “Cara Gila Jadi Pengusaha”. Pada pemunculannya di menit-menit pertama, saya terkesan bahwa penampilan Purdi “biasa-biasa” saja. Malah saya berfikir, tampaknya tokoh kita ini bukan tipe seorang presenter sebagaimana yang kita lihat dalam diri Kris Biantoro atau Farhan, lebih-lebih bukan juga tipe orator, seperti Bung Karno atau Fidel Castro misalnya. Maka, alih-alih dari melihat action beliau, saya coba untuk “hanya” mendengarkan materi pembicaraannya saja.
Lucu juga apa yang terjadi kemudian. Awalnya, saya sangat santai, bahkan terlalu santai ketika menyimak tanpa melihat ke layar, sambil mencoret-coret di atas kertas untuk keperluan kantor esok pagi. Namun tak lama, ibarat mesin diesel yang memerlukan beberapa waktu untuk menjadi panas, begitu pulalah perkembangan perhatian saya pada tayangan DVD tersebut. Lewat sepuluh menit sejak pembukaan, pembahasan Purdi makin menarik. Saya mulai meletakkan pena dan menoleh ke layar monitor. Lewat 30 menit, posisi duduk saya sudah sedemikian dekat dengan layar kaca, dan ketika bos Primagama ini mulai mengupas hal-hal yang berbau spiritual, saya sudah sangat terpaku menyimak penuh konsentrasi.
Tahukah Anda, bahwa akhirnya saya menghabiskan waktu menyaksikan DVD yang berdurasi lebih dari 3 jam itu, sampai pukul 1 lewat tengah malam? Dan non stop pula?
Banyak hal yang bisa saya tangkap dari tayangan DVD “Cara Gila..”, terutama sekali dari figur Purdi E. Chandra sendiri. Dan dari banyak hal tersebut, beberapa di antaranya saya kira perlu dicermati:
1) Purdi yang kita kenal sebagai sosok praktisi kewirausahaan, ternyata tidak saja memahami secara utuh tentang seluk beluk dunia bisnis dari segi teknis-praktis, namun lebih dari itu, ia juga mengerti dengan baik soal-soal yang menyangkut aspek spiritual. Di antaranya, ia mengatakan bahwa kalau seseorang ingin berhasil dalam berwirausaha, maka orang itu juga harus memperhatikan bahwa diperlukan aktivitas beramal, bersedekah atau kegiatan apa saja yang sifatnya memberi. Jangan sekali-kali berfikir ingin untung sendiri, hanya menerima tanpa pernah memberi pada orang lain. Sebab, alam selalu memerlukan perimbangan, kalau ada sesuatu yang masuk, maka seharusnya juga ada yang keluar Kalau ada yang tercurah ke bawah, maka seharusnya juga ada yang menguap ke atas. Sebagaimana alam mengatur air hujan yang turun ke bumi, mengisi sungai dan laut, menguap karena terkena panas matahari, berubah menjadi awan, untuk kemudian terjadi kondensasi dan akhirnya turun menjadi air hujan kembali. Dengan begitu, siklus alam ini berjalan dengan baik, tidak ada yang tersumbat. Siklus yang secara fisika kita sebut dengan “ecosystem”, suatu sistem universal yang mengatur perimbangan interaksi berbagai unsur yang terdapat di alam ini. Purdi sangat yakin bahwa sistem yang sama berlaku pula dalam dunia tak kasat mata, bahwa sebuah “spiritual ecosystem” juga berjalan secara harmonis. Sebuah sistem yang memberi pengaruh kuat atas segala fenomena yang terjadi di muka bumi, tidak terkecuali di dunia usaha. Chin Ning Chu, pimpinan perusahaan Asian Marketing Consultant, dalam karyanya “Thick Face Black Heart” (Muka Tebal Hati Hitam) menulis tentang hal yang sejalan dengan keyakinan Purdi. Chin menamakan fenomena spiritual itu dengan “darma”, yaitu sebuah hukum perimbangan yang mutlak terjadi menurut ketentuan-ketentuan alam. Siapa yang menanam, dia akan menuai. Sebaliknya, siapa ingin menuai, maka ia harus menanam terlebih dahulu. Demikian seterusnya. Lebih jauh, pendiri Primagama ini juga berusaha menyadarkan audiens bahwa semua sistem keseimbangan alam itu berasal hanya dari satu sumber saja, yaitu Sang Maha Sistem, Sang Penguasa Alam Semesta yang kita sebut dengan Tuhan. Maka, Purdi mengajak semua pendengarnya untuk meningkatkan spiritualisme terhadap Tuhan dengan berzikir, memuji kebesaran Allah sebanyak-banyaknya, kapan saja dan di mana saja. Ini luar biasa, sebab hampir semua wirausahawan top di dunia ini adalah orang-orang yang menjunjung tinggi spiritualisme. Ambil contoh, DR. An Wang (Wang Computers) dan Stan Shih (Acer) adalah penganut-penganut konfusianisme yang kental. Ternyata, Purdi mengerti itu!
2) Seminar tersebut dinamakan “Cara Gila Menjadi Pengusaha”, oleh karenanya tidak heran kalau pembicaranya juga menyebut-nyebut soal kegilaan dalam memulai usaha. Kalau tidak hati-hati, orang bisa saja menerjemahkan “gila” itu sebagai “gila-gilaan”, yang berkonotasi sebuah kenekatan tanpa perhitungan, kesemberonoan atau sebuah tindakan berjibaku tanpa mempedulikan lagi akibat-akibatnya. Apakah demikian? Entah karena memang sulit, atau karena yakin bahwa pendengarnya adalah orang-orang yang cerdas semua, saya tidak melihat Purdi E. Chandra menjabarkan lebih jauh tentang makna kegilaannya itu secara eksplisit. Ini tentu cukup riskan. Sebab, salah-salah, sebagian orang akan benar-benar mengartikan kegilaan itu sebagai tindakan pasukan jibaku-tai, tindakan bertaruh nyawa secara untung-untungan tanpa mikir! Meski demikian, saya kagum dengan cara tokoh ini mengistilahkan kata-kata simpel “gila”. Saya yakin, bahwa itulah cara Purdi untuk mensimplifikasi sebuah konsep kreativitas, yang oleh Edward De Bono diistilahkan dengan kata-kata “lateral thinking”. Coba perhatikan apa yang dikatakan oleh Edward: “…we have not yet paid serious attention to creativity. The first and most powerful reason is that every valuable creativity idea must always be logical in hindsight. If not logical in hindsight, then it would simply be a crazy idea..” Kita belum memberikan perhatian serius atas kreativitas. Penyebab utamanya adalah kita selalu beranggapan bahwa ide yang kreatif itu harus masuk akal, jika tidak masuk akal, maka itu hanyalah sebuah ide gila..! Edward De Bono memang pakar kreativitas. Ia mengerti sekali, bahwa kreativitas yang paling berharga itu hanya berjarak tipis terhadap kegilaan. Dan kegilaan Edward telah ia buktikan sendiri ketika ia mencetuskan ide untuk memasang lift di bagian luar gedung, bukan di dalam, demi menjawab tantangan penghematan ruang. Terbukti sekarang kita lihat berbagai gedung perkantoran, mal dan pusat perbelanjaan memasang liftnya di bagian luar gedung. Dengan kegilaan yang sama, UNITED COLORS OF BENETTON mendirikan banyak sekali gerai-gerai kecil dengan paduan warna-warni yang memikat hati. Dengan kegilaan yang sama, Pepsi menggelar pertunjukan super kolosal sang maha bintang Michael Jackson demi mengangkat citra produk minumannya. Dan dengan kegilaan yang sama pula, Purdi E. Chandra mengembangkan franchising Primagama ke seluruh Indonesia.
3) Bagaimana pula dengan istilah “kaya” dan “malas”? Intuisi saya mengatakan bahwa kalau orang sekaliber Purdi mengatakan “kaya”, maka yang dikatakannya itu adalah “kaya” (dengan tanda kutip) bukan kaya (tanpa tanda kutip). Apa artinya? “Kaya” artinya sejahtera bersama, paling tidak mereka yang memiliki kelebihan mau berbagi dengan mereka yang kekurangan. Sedangkan kaya berarti mereka yang ingin makmur sendiri, hanya menerima tanpa mau memberi, egois, hura-hura sendiri, plesir sendiri dan akhirnya mati sendiri pula. Demikian juga dengan perbedaan antara “malas” dengan malas. “Malas” artinya bekerja dengan ide dan gagasan, dengan otak bukan dengan otot, smart work, efektif dan efisien. Sedangkan malas adalah kemalasan ala si Kabayan, tidur sepanjang hari dari pagi sampai ke pagi lagi, tanpa pernah menggunakan baik otot mau pun otaknya.
Kesimpulan final yang dapat saya tarik dari DVD “Cara Gila Menjadi Pengusaha” adalah tidak terbatas dari sekadar mengatakan bahwa figur Purdi E. Chandra itu sebagai figur yang hebat dan monumental, tapi lebih dari itu saya ingin menyampaikan bahwa berbahagialah bangsa Indonesia ini yang masih diberi kesempatan untuk memiliki sosok wirausahawan seperti dia. Sosok yang dalam kesuksesannya, masih mau berbagi dengan sesama, agar banyak orang juga berkesempatan meraih sukses serupa. Dibutuhkan lebih banyak lagi Purdi-Purdi lain, agar bangsa tercinta ini dapat segera bangkit dari keterpurukan yang sudah berlarut-larut. Saya juga ingin menyampaikan selamat kepada warga EU, yang sudah dikaruniai Tuhan untuk bertemu dan belajar tentang sukses dari orang sukses seperti Purdi. Semoga akan segera muncul Purdi-Purdi junior yang akan menyusul jejak sang “Mbah” menggalang kekuatan ekonomi bangsa melalui kewirausahaan.
Akhirul kata perkenankan saya mengucapkan kalimat dalam bahasa Mandarin :
“ZHU NIMEN DOU KUAI’ LE”
“Semoga Anda semua berbahagia”
Sumber
:
Rusman Hakim ( Pengamat Kewirausahaan)
http://rusmanhakim.blogspot.com/2006/05/cara-gila-menjadi-pengusaha.html
Rusman Hakim ( Pengamat Kewirausahaan)
http://rusmanhakim.blogspot.com/2006/05/cara-gila-menjadi-pengusaha.html
29 Juni 2009
7 Cara Tidak Gila Jadi Pengusaha
Begawan entrepreneur, pemilik
usaha Kemchicks Supermarket, Bob Sadino dikatakan “Gila” manakala menyampaikan
cara berpikirnya, bagaimana bersikap dan bertindak untuk menjadi entrepreneur
sejati pada berbagai kesempatan, baik wawancara ataupun seminar.
Adapula entrepreneur senior
yang mengarang buku “Cara Gila menjadi pengusaha” yakni Purdi E Chandra,
pemilik usaha Primagama dengan konsep BODOL (Berani Optimis Duit Orang Lain),
BOTOL (Berani Optimis Tenaga Orang Lain) dan BOBOL (Berani Optimis Bisnis Orang
Lain).
Kali ini resensi buku
Mastermind TDA Jaksel mengulas buku “7 Cara Tidak Gila Jadi Pengusaha” karangan
Bambang Suharno, pendiri dan Direktur Indonesian Entrepreneur Society (IES)
yang juga pendiri PT Gallus Indonesia Utama.
Buku ini menyampaikan bahwa
tidak semua orang mau dan bisa segila para entrepreneur yang bisa melakukan
aksi-aksi gila saat memulai usahanya. Gila, nekat dan berani pasti bukan hal
yang mudah bagi kebanyakan orang, apalagi bagi karyawan yang sudah berkeluarga.
Menjadi Gila dan nekad bukanlah satu-satunya cara untuk menjadi seorang
entrepreneur sukses.
Ada 5 mitos mengenai
entrepreneur yang dibahas :
1. Entrepreneur terlahir, bukan dibentuk oleh
lingkungan. Padahal sesungguhnya kesuksesan dalam bisnis tidak dipengaruhi ras
atau bakat bawaan lahir, tetapi karena faktor didikan, persepsi dan lingkungan
yang membentuknya
2. Bisnis semata-mata demi mengejar uang agar
menjadi kaya raya. Padahal uang bukanlah tujuan bisnis, melainkan, uang adalah
reward atas jerih payah dan ketekunan berusaha.
3. Berani mengambil jalan pintas dan tidak patut. Padahal kesuksesan dibangun atas dasar manfaat yang kita berikan bukan jalan pintas yang memberikan keuntungan sesaat
4. Sukses membutuhkan kenekatan, padahal berani
mengambil risiko bukan berarti nekat tanpa perhitungan , tetapi didorong
intuisi berdasarkan pengalaman sebelumnya.
5. Pengusaha merongrong harta kekayaan negara,
padahal cara yang jelek akan menghasilkan sesuatu yang jelek, cara baik akan
menghasilkan sesuatu yang baik. Jadi di dunia manapun ada yang menggunakan cara
yang jelek dan cara yang baik, tergantung dari orangnya, apapun profesinya.
Adapun mental utama yang
dibutuhkan untuk menjadi entrepreneur sukses adalah mental uang produktif,
mental pemberdaya dan mental tangan di atas. Bambang Suharno mengingatkan bahwa
kegiatan bisnis adalah kegiatan spiritual karena berbisnis tidak melulu
mengenai materi, melainkan juga mengenai seberapa banyak manfaat bagi banyak
orang.
Anda ingin tau bocoran 7 Jurus
Tidak Gila Menjadi Pengusaha itu? Inilah caranya :
Jurus 1 : Bersedekah
Jurus 2 : Menabung
Jurus 3 : Carilah Peluang Usaha
Jurus 4 : Carilah Mitra Kerja
Jurus 5 : Kembangkan Usaha
Jurus 6 : Ikhlas Menerima Hasil
Jurus 7 : Bergaul dengan
entrepreneur, menjadi anggota komunitas
Penjelasan ketujuh jurus itu
dalam buku dengan 137 halaman ini sangat mudah dicerna, dengan gaya bahasa
seorang jurnalis kawakan.
Buku ini membuat kita sadar
bahwa menjadi entrepreneur masih bisa dilakukan dengan cara waras. Tidak ada
rumus atau formula pasti untuk menjadi entrepreneur sukses, semuanya tergantung
dari masing-masing individu. Ada yang cocok dengan cara gila, ada pula yang berhasil
dengan cara waras. Apapun pilihan Anda, yang terpenting adalah tindakan nyata,
karena berbisnis itu adalah dilakukan bukan direncanakan. Segeralah bertindak.
Keep Moving Forward Action
Sumber :
Bambang Suharno (Penulis).
Bangkit Publishing (Penerbit)
Tjarli Suhendra (Peresensi)
dalam :
29 Juni 2009
0 komentar:
Posting Komentar